“Maa naḥnu fīhi al-yaum kāna amsan ḥulman, wa mā naḥnu fīhi ghadan kāna al-yaum fikran.”
“Apa yang kita alami hari ini adalah mimpi kemarin, dan apa yang kita alami esok adalah pikiran hari ini.”
Ahmaddahlan.com – Di sebuah bangsa yang riuh oleh tepuk tangan basa-basi dan panggung penghargaan yang sering kali menjadi parade pencitraan, kita terkadang lupa bahwa tidak semua pahlawan memakai jubah. Beberapa berjalan tenang di lorong-lorong sunyi pemikiran, bersetia pada nalar dan nurani. Salah satunya adalah Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si.
Ketika sebuah lembaga veteran—yang sejatinya mengusung semangat kejuangan lintas zaman—memberikan penghargaan kepada Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu, tak sedikit pula yang bertanya: untuk apa dan mengapa?
Namun sejarah tidak pernah salah memilih orang-orang yang konsisten. Penghargaan bukanlah hadiah yang ditabur seperti amplop pada musim kampanye. Ia bukan potongan pita dalam upacara formalitas, melainkan pengakuan atas ketekunan yang nyaris tak terdengar, kerja sunyi yang tidak banyak menuntut sorot kamera, dan keteguhan hati yang tak silau oleh gelar atau gelombang pujian.
Prof. Dr. Haedar Nashir bukan hanya seorang akademisi, pemimpin umat, atau penulis yang lihai menyulam gagasan. Ia adalah perajut narasi keindonesiaan yang tahan uji—baik oleh terjangan badai politik identitas, arus pragmatisme agama, maupun gelombang populisme yang mengaburkan antara suara publik dan bisikan kebenaran.
Dalam usia yang oleh orang bijak disebut “veteran dalam pengabdian,” Prof. Haedar tidak berubah menjadi fosil intelektual yang hanya dikenang dalam seminar. Ia tetap berdiri di tengah arena, menjaga napas panjang dakwah berkemajuan, seperti lilin yang tak ingin padam meski angin zaman terus menghembus.
Apakah penghargaan itu pantas? Jawabannya sederhana: penghargaan datang bukan karena ia dicari, melainkan karena ia layak. Seperti air yang mengalir menuju tanah rendah, penghargaan sejati akan menemukan orang yang telah merendahkan hatinya namun meninggikan derajat ilmunya.
Kini, dalam usia yang tak lagi muda namun penuh makna, semoga Prof. Haedar Nashir terus istiqomah. Di negeri yang sering abai terhadap akal sehat dan lebih memuja jargon kosong, keberadaan beliau adalah oase—yang meskipun tak gaduh, selalu menyegarkan dahaga akan keteladanan.
Dan kepada kita, yang masih belajar menulis sejarah dalam diam, semoga kalimat Arab tadi tidak hanya jadi kutipan indah. Bahwa hari ini adalah mimpi kemarin, dan hari esok adalah buah pikiran hari ini. Maka berpikirlah, agar esok tak jadi pengulangan dari kekacauan hari ini.
Wallahu a’lam bish shawab
Pegiat dakwah Online Jambi